Cegah Kenakalan di Usia Remaja, Dosen Institut Kesehatan Helvetia Adakan Penyuluhan Pengelolaan Emosi

MEDAN – Usia remaja rentan terhadap kelabilan emosi, sehingga tak jarang mereka merasakan putus asa, emosi yang tak terkontrol yang berakibat timbulnya pemberontakan yang menimbulkan masalah. Untuk itu, Dosen Institut Kesehatan Helvetia, Rahmawati Tarigan M.PSI menilai perlu adanya penyuluhan yang bisa menyosalisasikan cara mengelola emosi untuk menghindari kenakalan di usia remaja.

Digelar di Klinik Ummu Humairah Br Sitepu Tanjungpura Kabupaten Langkat, Sabtu (12/9/2020), pengabdian kepada masyarakat ini mengambil tema “Peningkatan Pengetahuan Tentang Peran Emosi Malu Dan Bersalah Terhadap Kecendrungan Perilaku Delinkuensi Pada Remaja”.

Program penyuluhan kepada masyarakat ini diketuai Rahmawati Tarigan, M.Psi dengan anggota: Julina Sembiring, SST., M.Kes, Sitha Paradilla Delarosa, SST., M.Kes juga dibantu oleh Putri Rahmika dan Mellyza Bella. Acara ini juga tak luput dari dukungan Pimpinan Klinik Ummu Humairah Br Sitepu.

Rahmawati mengungkapkan, tujuan Kegiatan ini adalah meningkatkan pengetahuan terhadap pengelolaan emosi dan perilaku delinkuensi pada remaja.

“Maraknya kasus kenakalan remaja (delikuensi) adalah karena lemahnya moralitas dan kepribadian pada remaja. Jadi berdasarkan teori perkembangan dari Kohlberg maka seharusnya remaja sudah berada pada tahap konvensional di mana moralitas ditentukan oleh aturan sosial yang disepakati oleh sekelompok orang,” ujarnya.

Rahmawati menambahkan, dalam aktivitas sehari-hari, remaja menggunakan standar moral tersebut untuk menjadi acuan boleh tidaknya dan baik buruknya dalam mengambil sebuah keputusan.

“Proses mengevakuasi keputusan berdasarkan standar moral tersebut memunculkan emosi yg disebut emosi moral,” ucapnya.

Pimpinan Klinik Ummu Humairah Br Sitepu menjelaskan, Emosi malu dan bersalah muncul ketika seseorang merasa bahwa tindakannya bertentangan dengan standar moral.

“Perbedaannya, emosi malu disertai dengan perasaan tidak berharga pada individu; sedangkan emosi bersalah dicirikan dengan rasa ketidakmampuan memenuhi standar moral sehingga adanya upaya untuk memperbaiki kesalahan seperti mengaku, meminta maaf, atau memperbaikinya,” ungkapnya.

Meskipun disebut sebagai emosi moral negatif, tambah Humairah, tetapi kedua emosi moral tersebut dibutuhkan oleh remaja.

“Hal ini dikarenakan emosi moral mengarahkan seseorang untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan moral. Dengan adanya emosi malu dan bersalah diharapkan akan mmenurunkan angka kenakalan remaja,” ucapnya.

Para peserta terlihat sangat semangat dan antusias dalam kegiatan ini.

Seorang peserta bernama Clara mengatakan, melalui kegiatan ini pengetahuan peserta menjadi meningkat tentang emosi malu dan bersalah.

“Sehingga kita sudah berada pada tahap perkembangan konvensional, di mana moralitas ditentukan oleh aturan sosial yang disepakati oleh sekelompok orang, ujarnya.

Seperti yang dijelaskan tadi, tambahnya, standar sosial ini kemudian oleh remaja diadaptasi menjadi standar moral.

“Dalam aktivitas sehari-hari, remaja akan menggunakan standar moral tersebut sebagai acuan boleh-tidak dan baik-buruknya sebuah keputusan. Proses mengevaluasi keputusan berdasarkan standar moral tersebut memunculkan emosi, yang disebut sebagai emosi moral,” pungkasnya. (Adv/SU)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here